Jumat, 27 Juni 2008

Penerangan Agung Sang Buddha

Riwayat perjalanan Sang Buddha Siddhatta Gotama mencapai penerangan agung penuh liku. Ia dengan penuh cinta, belas kasih, ketekunan dan tidak kenal lelah mengajarkan Dhamma (kebenaran) kepada para pengikutnya selama empat puluh lima tahun. Hanya satu tujuan yang hendak dicapai, yakni supaya mereka yang mau melatih diri dalam Dhamma dapat terbebas dari penderitaan dan akan memperoleh kebahagiaan Nibbana --terbebas dari reinkarnasi.




Perjalanan Pencerahan
Pangeran Siddhatta dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Ia putra tunggal dari pasangan Raja Suddhodana dan Ratu Maya, yang berkuasa di kerajaan Sakya. Saat dalam kandungan sang ibu, ia terlihat dalam posisi duduk bermeditasi dengan muka menghadap ke depan. Tepat saat purnama sidi di bulan Vaisak tahun 623 SM, ia dilahirkan dalam keadaan bersih, tiada darah, ataupun noda yang melekat di tubuhnya. Sang bayi lalu berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara. Saat kelahiran empat Mahabrahma menerima sang bayi dengan jala emas, dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan bayi sehingga segar.

Kelahiran Siddhatta membahana ke seluruh penjuru, dewa dari alam Tavatimsa memberitahu seorang pertapa bernama Asita (Kaladevala) saat bermeditasi di pegunungan Himalaya. Menurut Asita kelak sang pangeran akan meninggalkan kehidupan istana dan bertapa menjadi Buddha, apabila melihat empat peristiwa, yakni orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Ia memberi hormat kepada sang bayi setelah melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (orang besar). Bahkan para Brahmana pun meramalkan bahwa sang bayi kelak akan menjadi seorang Cakkavati (raja dari semua raja) atau menjadi sang Buddha. Bayi tersebut diberi nama Siddhatta yang berarti "tercapailah segala cita-citanya."

Baru sekitar tujuh hari dilahirkan, ibunya meninggal dunia. Semenjak ditinggal ibunya ia dirawat oleh Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang dinikahi ayahnya. Ia tumbuh dalam keluarga penuh kasih. Oleh karena itu sejak kanak-kanak ia dikenal sebagai seorang yang welas asih terhadap sesamanya. Di samping itu ia juga mempunyai kelebihan dan kecerdasan yang luar biasa. "Keganjilan" yang ditunjukkan Siddhatta sejak kecil telah terlihat misalnya sewaktu diadakan perayaan membajak. Saat perayaan sedang berlangsung, ia bermeditasi dengan duduk bersila dipayungi bayangan pohon jambu. Anehnya bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari, namun tetap menaunginya.

Pada usia 16 tahun ia menikah dengan Yasodhara, anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari Devadaha. Kehidupan berkeluarga dijalaninya sebagai calon seorang Raja Sakya. Namun demikian ia tidak bahagia hidup terkekang dalam istana seperti seorang tawanan. Keinginan untuk mengetahui dunia luar sedemikian kuat, bahkan ayahnya pun tidak sanggup menghentikannya. Ramalan sang pertapa Asita terbukti. Ia melihat empat peristiwa yang membawanya pada pencarian jawaban untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Sebab itu ia meninggalkan istana mengawali perjalanannya mencari penerangan agung saat usia 29 tahun.

Selama 6 tahun dia bertapa mencapai tingkatan Buddha pada usia 35 tahun. Buddha menghabiskan sisa ketidakkekalan tubuhnya selama lebih 45 tahun membabarkan dharmanya, ajaran luhurnya sebagai obat yang akan dapat membebaskan penderitaan manusia dari penderitaan dan mengantarnya ke pantai pembebasan. Suatu masa yang cukup panjang, sang Buddha membabarkan ajarannya hingga parinirvana-nya (wafat) di usia 80 tahun di Kusinara.

Penerangan Buddha
Salah satu ajaran Buddha adalah "janganlah berbuat jahat, tambahlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran, inilah ajaran para Buddha" (Dhammapada 183). Makna yang terkandung di dalamnya bahwa Buddha mengajarkan agar manusia menghentikan perbuatan jahat, melakukan perbuatan baik, dan menyucikan pikiran. Manusia harus berlatih untuk mengurangi segala perbuatan yang tidak bernilai dan meningkatkan segala perbuatan yang bermanfaat.

Di dalam diri manusia terkandung dimensi religius atau spiritualitas yang di dalam Buddha Dharma dikenal sebagai Bohicitta (kesadaran Buddha). Sebagai makhluk yang memiliki Bodhicitta dan dikenal sebagai Bodhisattva maka dalam diri manusia juga mengandung sifat-sifat luhur lainnya seperti maitri (cinta kasih), karuna (kasih sayang), mudita (simpati), dan upeksha (batin seimbang). Sifat luhur manusia tersebut merupakan kemampuan sebagai manusia untuk mencapai kesempurnaan, yang juga berarti berjuang mengatasi segenap kekotoran batin. Kekotoran batin adalah menyedihkan. Sifat-sifat kekotoran batin inilah yang menyebabkan timbulnya penderitaan (dukha).

Mereka yang telah sadar atau yang disebut Buddha itu adalah mereka yang telah dapat mengatasi kekotoran batinnya, terbebas dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan). Hendaknya manusia tidak terjebak dalam keterikatan arus kehidupan duniawi, namun sebaliknya terus ingat dan waspada agar dimensi keluhuran atau transenden dalam diri kita tidak tercemari dan terbenam dalam lumpur ketidaksadaran dan kesemuan hidup duniawi.

Empat Kebenaran Mulia
Empat Kesunyataan (Kebenaran) Mulia, merupakan inti dan bagian terbesar dari isi khotbah pertama Sang Buddha, kepada lima pertapa, yakni Kondana, Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Khotbah pertama ini dikenal sebagai Dhammacakkapavatthana Sutta, yang membabarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia, yakni; Dukkha Ariyasacca, Dukkhasamudaya Ariyasacca, Dukkhanirodha Ariyasacca, Dukkhanirodha Gamini Patipada Ariyasacca. Dukkha Ariyasacca merupakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha. Dukkha yang dimaksud adalah; kelahiran, usia tua dan kematian, berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang dicintai, tidak memperoleh apa yang diinginkan. Ringkasnya jasmani dan rohani, lima kemelekatan merupakan dukkha. Dukkhasamudaya Ariyasacca adalah Kesunyataan Mulia tentang sebab-musabab dukkha. Sebab-musabab dukkha adalah nafsu keinginan yang menyebabkan kelahiran kembali, disertai dengan hawa nafsu yang menemukan kesenangan disana-sini.

Dukkhanirodha Ariyasacca berarti Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya dukkha, disebut Nirvana (Nibbana), yakni terhentinya semua hawa nafsu tanpa sisa, terlepas, bebas, terpisah sama sekali dari keinginan tersebut. Dukkhanirodha Gamini Patipada Ariyasacca merupakan Kesunyataan Mulia mengenai cara melenyapkan dukkha. Kebenaran Mulia ini merupakan jalan mulia berunsur delapan, yakni; pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan meditasi benar.

Manusia Buddha
Setiap orang berjalan menuju Nirvana, dan terbangun kesadarannya untuk menjadi Buddha. Setiap orang hendaknya mengenali kembali bahwa Buddha hidup di hati manusia. Apabila Buddha tetap hidup di hati, maka tubuh dan kehidupan pun akan menyerupai Buddha. Dalam Buddha Mahayana mengenal ajaran mengenai Trikaya atau tiga tubuh Buddha, Dharmakaya (sumber kebuddhaan), Nirmanakaya (penampakan Buddha dalam bentuk fisik), dan Sambgohakaya (arus religiusitas dalam diri dan kehidupan manusia). Nirmanakaya merupakan aspek penampakan fisik Buddha seperti yang terwujud dalam diri manusia. Kehidupan Siddhata Gotama merupakan perwujudan fisik yang mencerminkan kebuddhaan. Buddha tampak dalam wujud manusia. Karena itu, kelahiran kita sekarang ini bukanlah sesuatu yang sia-sia atau harus dihabiskan percuma begitu saja tanpa mengembangkan sifat kebuddhaan yang terdapat dalam diri kita.

Mengembangkan sifat kebuddhaan itu berarti menampakkannya dalam wujud nyata, dalam kehidupan keseharian. Mereka yang bergerak membebaskan dirinya dari keserakahan pastilah hidupnya akan damai, puas dan bahagia dengan apa yang ada. Mereka yang bergerak membebaskan dirinya dari kebencian pastilah hidupnya akan selalu tenang, tidak takut terhadap ancaman apa pun juga, diterima dan dapat menerima sesamanya dalam kebersamaan maupun kerukunan. Mereka yang bergerak membebaskan dirinya dari kebodohan batin pastilah wajahnya akan cerah, bersinar batinnya, telah tercerahkan tiada lagi kekeliruan.

Dalam pengalaman pencerahan dan pembebasan itu terlihat bahwa pada hakikatnya semua manusia adalah sama, sama-sama mengandung benih keluhuran. Epistemologi pencerahan Buddha memandang keberadaan manusia mengandung nilai mutlak dalam keluhuran martabatnya. Sedangkan pembebasan yang berhasil diwujudkannya mengisyaratkan bahwa manusia secara etis wajib untuk memperlakukan dan menghormati sesamanya dengan segala potensi moral dan spiritualnya.

(Rachmat, dari berbagai sumber)


Tidak ada komentar: